Hampir di setiap tempat di Indonesia,kemungkinan besar ada orang Bugis. Saya sempat bertemu dengan seorang pekerja di Belitung yang menginstalasi genset di pulau pulau terluar Indonesia,di sana pun banyak nelayan dari Bugis yang tinggal.
Kalo
Anda pergi ke Singapore di sana ada kawasan bernama Bugis Street. Jejak
orang Bugis pun sampai di Afrika Selatan berkat kontribusi Syekh
Yusuf,pahlawan nasional yang dibuang Belanda. Jejak bangsa Bugis juga
membekas sampai Madagaskar.
Ada
pertanyaan besar bagaimana mereka bisa punya tradisi kuat untuk
merantau? Bagaimana mereka bisa mendoktrin keturunannya agar mau
merantau,suatu hal yang sangat berat dilakukan bagi suku lain.
Salah satu jawabannya saya temukan ketika mengunjungi Museum La Galigo dan Museum Karaeng Pattingaloang.
La
Galigo adalah nama karya sastra dari abad 14,jaman Bugis Kuno.La Galigo
juga nama seorang tokoh anak dari Sawerigading yang Bugis asli dan We
Cudai dari Tiongkok. Sawerigading diceritakan sebagai seorang kapten
kapal yang merantau ke negeri Tiongkok untuk mencari kembaran Tanri
Abeng,wanita pujaan yg tidak bisa dia nikahi karena ternyata adalah
saudara kembarnya. Lewat tokoh Sawerigading ini lah mungkin sosok ideal
bangsa Bugis diimajinasikan dan berhasil mendoktrin banyak pemuda Bugis
untuk merantau.
Contoh
berikutnya ada pada Karaeng Pattingaloang,seorang cendekiawan plus
pengusaha internasional dari Kerajaan Gowa. Beliau sebenarnya keturunan
raja namun lebih memilih untuk menjadi penasehat raja.Beliau menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi,terbukti dengan kiriman teleskop Galileo
ke Kerajaan Gowa oleh Kerajaan Inggris. Karaeng juga seorang pengusaha
internasional yang berkongsi dengan pedagang dari Spanyol. Karaeng
Pattingaloang merupakan tokoh ideal bagi bangsa Bugis yang ingin menjadi
teknokrat atau menjadi pengusaha
sukses.
No comments:
Post a Comment